Warisan Constantine, Penyatuan Gereja dan Negara

August 11, 2009 - Author: admin - Comments are closed

Oleh: Rick Joyner, Morning Star Publising-USA

Tidak seorang pun dalam kehidupan bangsa Romawi pernah melihat iman seperti yang tampak dalam diri orang Kristen mula-mula. Gereja merupakan suatu Negara yang memiliki kebudayaannya sendiri. Meskipun penganiayaan dari kuasa-kuasa terkuat di dunia terus berkelanjutan, gereja tetap berkembang. Orang-orang Kristen bahkan membuat musuh-musuh mereka terkesima, dengan membalas kejahatan dengan kebaikan dan dengan bersikap ramah dan saling peduli, sehingga sangat sedikit dari antara mereka yang berkekurangan.

Ketika ayah atau ibu hilang dalam penganiayaan, bahkan orang-orang yang tidak saling mengenal pun akan membesarkan anak-anak yatim piatu tersebut seperti anak-anak mereka sendiri. Praktek kesaksian iman ini segera menjadi jalinan yang lebih kuat daripada kekaisaran Romawi itu sendiri. Saat kekaisaran mulai terguncang oleh korupsi dan ambisi pribadi para pemimpinnya, kekristenan justru mulai dianggap sebagai satu-satunya tali perekat kekaisaran Romawi.

Pada tahun 313M, penganiayaan kekaisaran Romawi terhadap umat Kristen tiba-tiba secara resmi dihentikan. Kemudian, tersebar berita bahwa kaisar Constantine sendiri menyatakan diri sebagai orang Kristen. Untuk memahami perubahan yang radikal ini, kita harus kembali ke tahun 306, ketika Constantine menjadi kaisar Romawi. Masa itu merupakan masa perang saudara yang berkepanjangan, karena banyak pihak yang berusaha memperebutkan takhta kekaisaran Romawi. Constantine merasa bahwa kampanyenya melawan Maxentius, salah satu pesaingnya, akan mementukan siapa yang menjadi penguasa tunggal kekaisaran. Pasukan kedua musuh ini bertemu di Jembatan Mulvian di atas Sungai Tiber dekat Roma.

Constantine mengetahui bahwa ia memerlukan pertolongan ilahi untuk memenangkan peperangan ini. Kabar burung menyebutkan bahwa ia bersimpati kepada orang-orang Kristen oleh karena istrinya, Fauta, telah memeluk agama Kristen. Constantine berdoa meminta pertolongan, dan Allah memberikan penglihatan kepadanya tentang sebuah salib terang, yang bertuliskan “in hoc signo vinces” (dengan tanda ini, engkau akan memperoleh kemenangan).

Constantine mengungkapkan bahwa ia juga bermimpi yang sama pada waktu malam. Dalam mimpi tersebut “Sang Kristus Allah” menampakkan diri kepadanya dengan tanda yang sama yang telah dilihatnya di dalam penglihatannya dan memerintahkan dia untuk membuat tanda serupa dan memakainya sebagai perlindungan dalam segala pertempuran dengan musuh-musuhnya. Keesokkan paginya, Constantine bangun dan menceritakan mimpinya itu kepada kawan-kawannya. Kemudian, ia mengumpulkan tukang pahat dan menggambarkan tanda tersebut kepada mereka supaya mereka dapat membuatnya di atas emas dan batu-batu berharga.

Pada tanggal 28 Oktober 312, Constantine memenangkan perang Jembatan Mulvian. Setelah itu, ia secara resmi menjadi Kristen dan memerintahkan agar symbol nama Juruselamatnya (tanda silang yang terdiri dari huruf Yahudi chi dan rho) menjadi lambang tentaranya. Sebuah pemahaman tentang pertobatan dan pengaruh kaisar Constantine atas gereja sangat penting bagi kita, agar kita memiliki pengertian yang lebih baik mengenai dunia saat ini. Pengaruh-pengaruh ini masih memiliki berbagai akibat yang cukup besar baik dalam agama, filsafat dan pemerintahan.

Pernikahan Gereja Dan Negara

Banyak sejarawan meragukan pertobatan Constantine. Kalangan protestan popular berpendapat bahwa ia hanya memandang iman Kristen yang tampaknya tidak dapat dihancurkan itu sebagai satu-satunya cara untuk mempersatukan kembali kekaisarannya yang hampir runtuh itu. Yang lainnya percaya bahwa ia sungguh-sungguh bertobat, namun ia tidak memiliki pengertian tentang prinsip-prinsip iman terpenting, dan salah mempergunakan pengaruhnya sebagai kaisar dengan menenggelamkan gereja ke dalam rawa rohani Masa Kegelapan, meskipun ia memiliki maksud yang baik. Namun, bagi kalangan Katolik Roma, pertobatannya itu merupakan hal yang nyata dan bahwa pengaruhnya membawa gereja menuju ke “masa keemasan”, karena pada saat itu gereja dapat menguasai kehidupan, kebudayaan dan pemerintahan suatu bangsa yang besar.

Apakah Constantine sungguh-sungguh mengalami pertobatan atau tidak, itu mungkin akan tetap menjadi perdebatan hingga pada Hari Penghakiman. Ada keuntungan bagi kedua pihak yang memegang argumentasi ini. Pendapat pribadi saya adalah bahwa jika semula ia tidak bertobat, semua perubahan yang dilakukannya pastilah merupakan pengaruh pengajaran Kristen, dan saya percaya bahwa ia beusaha untuk memakai pengaruhnya sebagai kaisar untuk menolong gereja, sekaligus memanfaatkan gereja untuk menolong kekaisaran Roma.

Sebagai seorang kaisar, dapat dimengerti jika ia menggunakan kekuasaannya seperti itu, dan bahwa ia berusaha untuk mengadakan beberapa perubahan dalam pemerintahan gereja. Namun, entah ia bermaksud baik atau buruk, perubahan-perubahan itu menghancurkan sifat rohani penting gereja. Perubahan ini juga membawa akibat yang mengerikan bagi gereja, yang masih tetap mengakibatkan perpecahan di dalam gereja dan penyimpangan kesaksian gereja kepada dunia.

Banyak perdebatan besar masa kini, seperti hubungan antara gereja dan negara, bersumber pada pengaruh Constantine dalam gereja. Sampai saat ini, orang-orang Protestan, Katolik, dan Injili masih terus dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai batas-batas hubungan gereja dengan pemerintahan Negara, apakah bermusuhan atau bersahabat. Hingga tahun 313, gereja belum pernah menikmati persahabatan dengan pemerintahan Negara, apalagi bersatu dengannya.

Pengajaran dasar para rasul adalah bahwa orang-orang Kristen harus menghormati dan menaati pemerintah, tetapi juga akan dianiaya oleh mereka. Tuhan telah mengatakan bahwa KerajaanNya bukan berasal dari dunia ini, jadi tidak ada pengajaran khusus atau bahkan paradigma yang mengajarkan apa yang harus dilakukan orang-orang Kristen, jika pemerintah ingin bersatu dengan gereja. Meskipun demukian, banyak nasihat Alkitab yang mengatakan bahwa orang-orang Kristen tidak boleh mengasihi dunia dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan jangan merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang yang tidak percaya. Tidak diragukan lagi bahwa kedua hal ini terjadi secara besar-besaran, karena pengaruh kaisar Constantine.

Jalan keluar yang paling sederhana bagi pertanyaan mengenai apakah gereja dapat bersatu dengan pemerintah dunia, dengan segala rasa hormat, adalah mengatakan: ”Tidak.” Selama ini, gereja selalu terbuka terhadap para pemimpin pemerintahan yang ingin bergabung dalam jemaat, namun bersatu berhubungan dengan penguasa-penguasa masa kini merupakan suatu pengkhianatan terhadap pertunangannya dengan Tuhan. Hanya Yesuslah Kepala Gereja, dan jika gereja memberikan kedudukan ini kepada manusia mana pun, bahkan seorang kaisar sekalipun, hal itu sama dengan penolakan terhadap Yesus. Meskipun demikian, seiring dengan bergulirnya waktu, kebenaran alkitabiah yang paling jelas sekalipun dapat menjadi kabur. Menolak tawaran dari kaisar tidaklah mudah untuk dilakukan, setelah penganiayaan besar yang telah dialami oleh gereja.

Kesatuan Secara Paksa

Para pemimpin gereja yang paling berpengaruh memberi tanggapan agar bersatu dengan pemerintah Roma, oleh karena adanya kemungkinan yang besar bagi mereka untuk mengkristenkan dunia, meskipun beberapa pihak memprotes bahwa penyatuan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kekristenan. Ketulusan Constantine dalam mempromosikan kekristenan akhirnya mengalahkan berbagai kritik pertama mengenai penyatuan ini, tetapi tidak semuanya.

Para pemrotes segera disingkirkan dari kedudukan mereka di dalam gereja, dan penganiayaan yang halus menimpa mereka. Kemudian, Constantine menggunakan kesempatan itu untuk menunjukkan kemurahan terbesarnya kepada gereja-gereja dengan merangkul pemimpinnya. Seketika itu juga, para pemimpin gereja yang tadinya diburu seperti binatang, merasa melayang di udara dan terhormati. Bahkan, segera setelah itu, kedudukan pemerintahan yang berpengaruh, berkuasa dan bergengsi ditawarkan kepada mereka.

Pada tahun 321, seluruh bisnis sekuler dilarang diadakan pada hari pertama dalam minggu tersebut, untuk menghormati hari pertama pertemuan orang-orang Kristen. Namun, hari tersebut ditetapkan sebagai “hari suci matahari”, bukannya hari Tuhan (itu sebabnya hari tersebut dinamakan “Sunday”). Kompromi ini memenuhi tuntutan orang-orang kafir dalam kekaisaran, namun membuat orang-orang Kristen tercengang. Kemudian, Constantine mengeluarkan dekrit kebebasan beragama di seluruh kerajaan dengan menulis, ”Jangan ada seorang pun mengganggu kebijaksanaan ini, namun biarlah setiap orang bebas untuk mengikuti prasangka pikirannya sendiri.” Akhirnya, ia mendirikan kota Konstantinopel sebagai “ibukota yang didedikasikan bagi agama Kristen”.

Tak diragukan lagi, pertobatan Constantine menandai perubahan iman Kristen yang paling dramatis. Perubahan tersebut sangat cepat dan dalam sehingga orang-orang Kristen mengalami kesulitan untuk memahami arti perubahan tersebut, terlebih lagi untuk menjelajahi alam rohani yang baru itu. Pengarang Wallis, dalam bukunya, Revival and Recovery, menyatakan pandangannya tentang penyatuan gereja dan Negara: ”Saat ini, gereja tidak menanggung penderitaan atas penganiayaan yang dilakukan oleh Negara, namun menikmati hak istimewa dari Negara. Tanpa disadari, Gereja telah terperangkap. Umat Allah yang selama ini sangat waspada, penuh doa dan setia pada masa-masa tekanan, sekarang telah dininabobokan ke dalam sebuah perasaan aman yang semu.

Seperti yang telah dikatakan oleh Edwin Orr: ”Bagi sebuah kapal, berada di tengah air laut dan air laut masuk ke dalam kapal merupakan dua hal yang sama sekali berbeda!” Kemurahaan hati kerajaan telah membawa dunia masuk ke dalam gereja, dan apa yang telah gagal dilakukan oleh iblis melalui penganiayaan, akhirnya berhasil dicapainya melalui hak istimewa untuk duduk di dalam pemerintahan.

Sejak semula, jelas bahwa kemurahan yang ditunjukkan oleh Constantine terhadap gereja merupakan kemurahan terhadap orang-orang yang menerima dan mendukungnya. Ia secara pribadi memberikan kedudukan secara teologis penting bagi para pemimpin Kristen yang bersahabat dengannya. Pada mulanya, kaisar berusaha membujuk orang-orang yang memiliki pandangan yang berbeda untuk menyelaraskan berbagai macam doktrin dalam gereja. Karena alasan ini, ia mengadakan Dewan Nicea yang besar, untuk mengumpulkan para pemimpin Kristen yang penting bersama-sama. Ini tentu saja merupakan usaha yang mulia, meskipun dicampuri oleh keinginan-keinginan untuk memperalat gereja dalam menyatukan kerajaannya yang sedang runtuh.

Suatu masalah serius dan berkepanjangan muncul ketika Constantine terlibat dalam apa yang dianggapnya sebagai kebenaran dalam masalah-masalah penting yang dibahas di Nicea, dan kemudian mengeluarkan keputusan bahwa nasalah-masalah tersebut, seperti the Nicene Creed, akan diterima oleh gereja, yang juga akan diakui oleh Negara. Karena Constantine percaya bahwa kredo ini menjadi pernyataan iman yang masuk di akal, ia menyingkirkan semua uskup yang menolak menandatangani kredo tersebut atau semua yang menolak tawaran damai dengan kaisar. Dengan demikian, dimulailah penganiayaan resmi yang pertama terhadap orang-orang Kristen yang dilakukan oleh orang-orang Kristen sendiri.

Melalui proses tersebut, Constantine telah menjadi kepala gereja secara de facto. Ia mengubah atau meletakkan dasar untuk perubahan, baik doktrin gereja maupun pemerintahan. Perubahan yang paling radikal dari semuanya adalah bahwa orang-orang perlu menjadi Kristen oleh karena kesempatan-kesempatan politik dan kesempatan duniawi yang ditawarkan, dan bukan peran Roh Kudus. Keperkasaan dan kekuasaan kekaisaran Romawi dianggap sebagai cara yang lebih mudah untuk membuat manusia bertekuk lutut, bukan kepada kebenaran, melainkan kepada pemimpin-pemimpin gereja.

Takhayul Menggantikan Kebenaran

Meskipun Constantine telah menyatakan diri sebagai seorang kaisar Kristen, ia tidak menerima baptisan sampai saat-saat terakhir menjelang kematiannya pada tahun 337. Hal ini dilakukan oleh karena kepercayaan takhayulnya bahwa baptisan sebagai alat pengampunan dosa, yang tentu saja menggantikan Salib. Ia merasa pengampunan dosa ini lebih aman diterima pada akhir kehidupan, sehingga hanya sedikit waktu yang tersisa untuk melakukan dosa-dosa baru. Eusebius, sejarawan gereja pertama dan uskup yang membaptis kaisar, menulis bahwa Constantine “dengan gigih percaya bahwa apa pun dosa yang telah dilakukannya sebagai manusia, jiwanya akan dimurnikan dari dosa-dosa tersebut melalui manjurnya kata-kata misterius dan air baptisan yang menyehatkan itu. ”

Hal ini tampaknya menjadi takhayul dan pengabaian yang telah dipelopori oleh Constantine dan telah mempengaruhi gereja, selama berabad-abad mendatang. Setiap keputusan diambil berdasarkan kebijaksanaan politik dan bukan kebenaran Alkitab. Doktrin-doktrin yang mendikte jalannya gereja selama lebih dari ribuan tahun didasarkan pada tulisan kuno yang tidak jelas dari para pemimpin gereja sebelumnya yang telah meninggal dan bukan pada Kitab Suci.

Meniadakan Kitab Suci

Kitab Suci adalah senjata paling ampuh di dunia untuk melawan kejahatan. Melalui Kitab Sucilah, kebenaran tentang penebusan Allah melalui salib Kristus dinyatakan. Karena Kitab Suci dianggap menjadi ancaman serius bagi takhayul-takhayul jahat yang terus menguasai agama Kristen, gereja sendiri justru mengobarkan perang melawan tulisan-tulisan suci. Hal ini, tentu saja, merupakan bukti nyata terjadinya kemurtadan.

Karena orang-orang yang membaca Kitab Suci akan dapat dengan mudah melihat pertentangan antara doktrin-doktrin gereja yang baru muncul dan doktrin-doktrin para rasul, tidak lama kemudian, hanya para pejabat gereja yang diizinkan memiliki Alkitab dan membacanya. Hal ini perlu karena orang-orang awam tidak akan memiliki kemampuan untuk memahami Kitab Suci. Hal ini juga membuka pintu gereja terhadap satu alat paling berbahaya yang dimiliki opleh iblis: ketidaktahuan.

Seperti yang Tuhan katakan dalam Hosea 4:6: ”Umat-Ku binasa karena tidak mengenal Allah. ”Ketidaktahuan adalah kegelapan dan itu menjadi tempat berdiamnya iblis. Selama masa itu, buta huruf adalah sesuatu yang biasa, kecuali di antara orang-orang Yahudi dan buku pun hampir tidak ada. Alkitab disimpan di tempat terkunci oleh pendeta Roma dan dibacakan kepada masyarakat dalam bahasa Latin, yang hanya dimengerti oleh hanya sedikit orang. Seseorang yang sedang membawa Alkitab tanpa izin dianggap sebagai pelaku kejahatan yang diancam hukuman mati. Bahkan saat itu, seorang pendeta pun sulit mendapatkan izin itu.

Kebijakan ini bertentangan dengan pengajaran Tuhan Yesus sendiri. Seperti yang kita lihat dalam Lukas 10:21: ”Pada waktu itu juga bergembiralah Yesus dalam Roh Kudus dan berkata: Aku bersyukur kepadaMu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan bagi orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.”

Kata Yunani yang diterjemahkan bersukacita di sini adalah agalliao (ag-al-lee-AH-o) yang berarti “melompat dengan bersukacita, untuk menyatakan sukacita yang melimpah-limpah”. Kesimpulannya adalah bahwa sukacita semacam itu hampir mendekati kegembiraan yang meluap-luap yang tidak terkendali. Tuhan tidak hanya sedikit gembira karena “orang kecil” dapat memahami kebenaran kerajaan, Ia meluap dengan kegembiraan.

Seperti yang Tuhan katakana, seorang kecil yang rendah hati akan menyatakan kebenaran Allah di hadapan orang-orang yang berkhikmat dan pintar. Hal ini jangan disimpulkan bahwa kita tidak boleh mencari hikmat dan kepandaian, namun kita tidak boleh bermegah di dalam hikmat dan kepandaian kita sendiri, atau mempergunakannya untuk menggantikan ketergantungan kita kepada Roh Kudus untuk memimpin kita kepada kebenaran.

Sejak abad pertama, terdapat suatu peperangan yang berkepanjangan antara “orang-orang berhikmat dan pintar” dan pemahaman “bayi-bayi rohani”. Namun, kita jangan pernah menganggap ketidaktahuan tersebut sebagai suatu berkat. Petrus memperingatkan orang-orang Kristen mula-mula tentang hal ini ketika ia menjelaskan tentang beberapa orang yang menyalahartikan tulisan Paulus dalam 2 Petrus 3:15-16: Anggaplah sebagai kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya. Hal itu dibuatnya dalam semua suratnya, apabila ia berbicara tentang perkara-perkara ini. Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain.

Ketidaktahuan selalu menjadi musuh dari kebenaran. Orang-orang yang tidak berpendidikan dan tidak stabil biasanya menjadi orang-orang yang menyelewengkan Alkitab. Namun, perbaikan kesalahan ini bukanlah dengan menyembunyikan Kitab Suci, tetapi dengan mengajarkannya kepada mereka sehingga akan membantu mereka menjadi stabil. Kita juga harus mengingat bahwa tidak peduli berapa pun banyaknya pengetahuan yang kita miliki, kita harus selalu mempelajari Kitab Suci dengan kerendahan hati seperti seorang anak, yang memiliki karakter dasar rela untuk diajar. Ketika kita berhenti memiliki sikap rela diajar, kita berhenti menjadi murid.

Dalam usaha untuk menegakkan kesatuan di dalam gereja, Constantine menggunakan kekuatannya sehingga membuat kekristenan sejati menjadi agama yang tanpa pengertian. Ia melakukan hal ini dengan melarang perdebatan terhadap semua masalah kekristenan, kecuali tentang pandangannya sendiri mengenai kekristenan. Kitab Suci sama sekali diabaikan dan tidak diperhatikan. Namun, keseragaman yang diciptakan pikiran manusia itu, justru mampu menyebabkan kesatuan yang diharapkan Constantine.

Akhirnya, Constantine mengeluarkan suatu undang-undang tidak seorang pun dapat memiliki jabatan sebagai seorang pengajar tanpa izin dari pemerintahan dan dengan demikian menetapkan pengendalian kerajaan yang birokratis terhadap sekolah-sekolah dan menutup lapangan kerja ini bagi semua orang Kristen yang tidak setia kepadanya. Dengan cara ini, pandangannya tentang kekristenan dipatenkan bagi generasi intelektual dan pemerintahan masa depan. Mereka yang menginginkan pendidikan yang diakui, yang merupakan syarat untuk memperoleh kedudukan di dalam pemerintahan atau gereja, tidak boleh memiliki pandangan yang bertentangan dengan pemerintahan.

Ujian Kelimpahan

Ketika Yesus masih di bumi, ia tidak pernah memaksa manusia untuk menerima Dia atau pengajaranNya. Dia tidak ingin manusia menerima Dia dengan alasan apa pun, selain karena mereka mengasihi Allah dan mengasihi kebenaran. Dia mengizinkan gereja-Nya menderita penganiayaan yang tidak berkesudahan sebagai alat untuk memurnikan motivasi dan karakter umat-Nya. Tidak semua orang berhasil melewati ujian ini, namun banyak yang berhasil dan mereka layak memerintah bersama Dia dalam kerajaan-Nya. Meskipun demikian, sama seperti Rasul Paulus belajar untuk tetap puas dalam kelimpahan maupun kekurangan (Filipi 4:12), gereja juga harus melewati ujian untuk menjaga iman dan karakternya, ketika gereja bertumbuh. Sayangnya, sangat sedikit yang melewati ujian ini.

Seperti yang telah dikatakan, Tuhan tidak menempatkan Pohon Pengetahuan yang Baik dan Jahat di Taman Eden supaya Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, namun agar mereka dapat membuktikan kasih dan ketaatan mereka kepada-Nya. Tidak akan ada ketaatan yang sejati dari hati, jika tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk tidak menjadi taat. Seperti mempelai Adam pertama, gereja sebagai mempelai “Adam terakhir”, akan menerima tawaran buah dari pohon yang mematikan tersebut. Seperti Hawa, ia memakannya. Gereja yang dipanggil untuk menjadi perawan suci, mempelai Kristus, bukan hanya melakukan penyelewengan dengan kekaisaran Romawi; gereja bahkan menikahinya. Gereja dan negara bersatu dan jalin menjalin sedemikian rupa sehingga perbedaan di antaranya keduanya menjadi sangat kabur.

Constantine cenderung mencari kesamaan pendapat dengan uskup, setidaknya orang-orang yang berkenan kepadanya, namun kaisar-kaisar berikutnya memaksakan kehendak mereka sendiri terhadap gereja, bahkan mengeluarkan perintah atas nama mereka sendiri dalam memutuskan segala permasalahan gereja, bahkan tentang dogma-dogma agama. Gereja yang tadinya merupakan terang dunia justru menjadi alat yang sangat mudah dipakai oleh iblis untuk membawa kekristenan kepada masa kegelapan rohani yang paling mengerikan, yang disebut oleh para sejarawan sebagai “Masa Kegelapan”.

Dua Mandat

Alkitab mengajarkan bahwa baik gereja maupun Negara menerima mandat Allah. Mandat ini berbeda satu dengan lain dan memiliki tujuan yang berbeda pula. Ketika Negara berusaha melaksanakan mandat yang diberikan kepada gereja, hal itu akan selalu mengakibatkan munculnya tirani. Ketika gereja berusaha memenuhi mandat yang diberikan kepada Negara, hal tersebut juga mengakibatkan timbulnya tirani. Namun, gereja dan Negara tidak perlu menjadi musuh dan seharusnya menjadi sahabat, namun penyatuan keduanya dilarang keras, sebab gereja hanya boleh dipersatukan dengan Kristus saja.

Gereja memiliki kuasa yang jauh lebih besar daripada Negara sebab dengan memelihara kebenaranlah manusia dapat dimerdekakan, memiliki hati dan karakter yang diubahkan dan yang memimpin kepada kehidupan kekal. Inilah kuasa Roh Kudus yang menginsyafkan kita akan dosa, memimpin kita kepada segala kebenaran, dan memberikan kesaksian tentang Yesus yang adalah perwujudan dari segala kebenaran. Ketika gereja berusaha memaksa manusia menerima kebenaran dengan kekuatan atau hukum, hal itu akan membuat manusia melakukan seperti yang gereja inginkan, namun tidak akan mengubah hati mereka.

Dalam kegelapan oleh karena padamnya listrik di kota New York tahun 1977, orang-orang melakukan perampokan dan penjarahan dengan tidak terkendali sampai listrik kembali menyala. Mereka melakukan hal tersebut, sebab terang yang mengendalikan mereka hanyalah terang yang dari luar. Jika terang tersebut ada dalam hati mereka, mereka pasti akan memiliki perilaku yang benar, tidak peduli apakah lampu-lampu jalan menyala atau tidak. Tugas gereja adalah mengimpartasi terang itu agar manusia melakukan apa yang benar, bahkan ketika tidak ada seorang pun yang melihat. Tugas Negara adalah menjaga agar terang tersebut tetap menyala untuk mengendalikan perilaku orang-orang yang tidak memiliki terang di dalam hati mereka.

Hukum-hukum Negara tidak dapat mengubah atau menyelamatkan satu jiwa pun, namun dapat membantu mencegah korupsi dan menjaga damai. Suatu bangsa yang mendorong timbulnya rasa takut Tuhan dan menegakkan keadilan akan makmur. Namun, Negara tidak memiliki otoritas dari Allah untuk menentukan kebijaksanaan yang berkaitan dengan doktrin atau iman dalam gereja. Ketika otoritas pemerintah berusaha melakukan hal ini, akibatnya adalah kehancuran, baik bagi gereja maupun Negara. Yang terbaik bagi gereja dan Negara adalah untuk memiliki suatu hubungan yang saling menghormati yang mengusahakan kebaikan dan kemakmuran satu sama lain, tanpa mengorbankan kemerdekaan salah satu pihak.

Namun, pemisahan ini adalah antara gereja dan Negara, bukan umat Kristen dan Negara. Umat Kristen perlu berpartisipasi dalam memikul tanggung jawab sebagai warga Negara, dan bahkan terjun ke dalam pemerintahan, jika ia terpanggil untuk melakukannya. Demikian juga perlu diperhatikan bahwa kita memikul tanggung jawab tersebut sebagai warga Negara, bukan sebagai wakil resmi gereja. Hal ini tidak berarti bahwa kita tidak dapat membantu mempertahankan moralitas kekristenan, nilai-nilai bahkan kepentingan gereja, namun kita harus selalu ingat bahwa kuasa terbesar di dunia adalah kuasa kebenaran. Kuasa terbesar atas dunia adalah doa. Doa dapat menghasilkan jauh lebih banyak daripada konggres atau pengadilan internasional mana pun, sebab doa dapat menggerakkan tangan Allah.

Ketika gereja menyatu dengan pemerintahan Romawi, seluruh cara pikir Romawi dicurahkan ke dalam gereja, sementara gereja hanya sedikit memiliki pengaruh pengudusan terhadap Romawi. Cara-cara dunia yang berasal dari Romawi segera membanjiri gereja melalui empat cara utama:

1. Sejumlah besar orang-orang yang belum diselamatkan masuk ke dalam gereja. Hal ini dipacu oleh kemurahan kekaisaran dan promosi duniawi Romawi. Eusebius, sejarawan gereja dan juga seorang sahabat Constantine, bahkan mengutuk “kemunafikan yang memalukan dari orang-orang yang masuk ke dalam gereja dan menyebut nama dan karakter mereka sebagai Kristen”. Hal ini segera mengikis habis disiplin dan moral Kristen, pengabdian kepada kebenaran doctrinal, dan bahkan iman yang tunggal, oleh banyak orang yang membawa ilah-ilah mereka ke dalam gereja. Usaha mereka untuk “mengkristenkan” ilah-ilah tersebut menyebabkan pemujaan berhala kepada Maria, ibu Yesus dan semua orang kudus.

2. Kefanaan mengikis kesungguhan melangkah sesuai dengan tujuan Allah yang kekal. Para uskup dan pejabat gereja lainnya tiba-tiba menerima imbalan kekayaan yang besar, kehormatan dunia, dan kuasa sebagai imbalan atas kemurahan atau dukungan yang mereka berikan. Tidak lama kemudian, dikabarkan bahwa pesta yang diadakan para uskup ini melebihi pesta para raja. Dalam sebuah kesaksian tulus mengenai hal ini, Gregory Nazianzen membuat pernyataan dalam perpisahannya yang ditujukan kepada para dewan di Konstantinopel: ”Sekarang manusia tidak lagi mencari para imam, namun orang yang pandai berpidato; bukan lagi gembala dari jiwa-jiwa, namun manajer keuangan; bukan mereka yang memberi dengan ketulusan hati, namun pembela-pembela yang berkuasa. Tentu saja, kita dapat mengatakan adanya gereja-gereja semacam itu saat ini.

3. Kepemimpinan gereja berubah dari hamba bagi domba-domba mereka menjadi tuan yang memberi tugas. Dalam satu generasi, kepemimpinan umum gereja berubah dari cara seperti yang Yesus ajarkan menjadi cara-cara Romawi dan dibangunlah sebuah hierarki yang baru atas dasar keangkuhan dan ketaatan gereja terhadap pemerintahan.

4. Kebebasan beragama diabaikan. Hukuman-hukuman kejam yang dijatuhkan pada mereka yang dianggap meninggalkan ajaran dan praktek-praktek resmi gereja, meskipun sangat kecil, semakin meningkat. Di dalam Alkitab, pengucilan adalah hukuman yang paling ekstrem dan gereja diberi kuasa untuk melakukannya. Dalam pernikahannya dengan Negara, gereja dengan cepat mulai memakai alat-alat sekuler untuk memaksakan kehendaknya kepada orang-orang percaya dan kemudian pada rakyat. Tidak lama kemudian, pengajaran doktrin apa pun yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan gereja dicap sebagai ajaran sesat dan hukumannya adalah pambuangan, lalu penjara, dan akhirnya hukuman terakhir: kematian. Selama waktu itu, bahkan jika seseorang tertangkap basah memiliki Alkitab tanpa persetujuan otoritas gereja, hal itu adalah sebuah kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman siksaan bahkan hukuman mati.

 

5 artikel terakhir oleh admin

Categories: News & Lastest Updates