Gagal Masuk Kanaan-1

May 2, 2010 - Author: admin - Comments are closed

Oleh: Ev. Asen Suhendra

Kegagalan orang Israel untuk mentaati peraturan makan manna membawa konsekuensi yang serius, berupa kegagalan masuk Tanah Kanaan. Dan kegagalan masuk Kanaan juga berarti kegagalan masuk perhentianNya Tuhan. “sehingga Aku bersumpah dalam murkaKu: Mereka takkan masuk ke tempat perhentianKu.”(Ibrani 3:11)

Sebab-sebab kegagalan:

1. Gagal bekerja sama dengan Tuhan

“Dan mereka berkata kepada Musa: “apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka engkau membawa kami untuk mati di padang gurun ini? Apakah yang kauperbuat ini terhadap kami dengan membawa kami keluar dari Masir? Bukankah ini telah kami katakan kepadamu di Mesir: Janganlah mengganggu kami dan biarlah kami bekerja bagi orang Mesir. Sebab lebih baik bagi kami untuk bekerja pada orang Mesir dari pada mati di padang gurun ini.”(Keluaran 14:11-12)

“Hauslah bangsa itu akan air di sana; bersungut-sungutlah bangsa itu kepada Musa dan berkata: “Mengapa pula engkau memimpin kami keluar dari Mesir, untuk membunuh kami, anak-anak kami dan ternak kami dengan kehausan?”(Keluaran 17:3)

Alkitab mencatat sepanjang perjalanan umat Israel di padang gurun, mereka selalu penuh gerutuan dan keluh-kesah. Ketika ada kekurangan mereka bukan berseru memohon Allah memberi yang mereka butuhkan, tetapi hanya mengeluh dan menyalahkan Tuhan saja.

Konsep pengertian yang salah, bahwa karena mereka sudah mau dibawa keluar dari Mesir, maka sepanjang perjalanan mereka harus mengalami yang enak saja, membuat mereka melawan dan memberontak. Roh yang sama juga banyak merasuk orang percaya saat ini. Setelah jadi Kristen, berarti perjalanan hidup selanjutnya haruslah tanpa halangan dan rintangan. Karena sudah ikut Tuhan, maka Ia harus membawa mereka kepada hal-hal yang menyenangkan saja. Dan semua yang mereka inginkan harus Ia penuhi setiap saat, tanpa mereka perlu membuka mulut meminta kepadaNya.

Kerja sama tidak akan terjadi bila:

· tidak ada komunikasi: ketika ada yang dibutuhkan mestinya disampaikan dalam doa dan ucapan syukur, bukan cuma ngeluh dan marah-marah. “…tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.”(Filipi 4:6b)

· Ada pihak yang tidak melakukan bagiannya: kerja sama adalah kerja bersama dua pihak atau lebih, bukan cuma poleh satu pihak. Ketika kita bekerja sama dengan Tuhan, maka kita tahu bahwa yang bisa kita kerjakan tidak lebih dari 0,0001 persen; dan sisanya Tuhan yang mengerjakan bagi kita, karena kasih dan anugerahNya. Tetapi hati yang sombong merasa sudah melakukan segala sesuatu, sebaliknya menilai Tuhan tidak melakukan apapun baginya. “Mereka memungkiri Tuhan dan berkata: Dia tidak berbuat apa-apa.”(Yeremia 5:12b) “Ya Tuhan, Engkau menyediakan damai sejahtera bagi kami, sebab segala sesuatu yang kami kerjakan, Engkaulah yang melakukan bagi kami.”(Yesaya 26:12)

· Ada pihak yang selalu menyalahkan yang lain: diperlukan hati yang sudah diremukkan dan diterangi Roh Kudus untuk bisa introspeksi diri dan tidak menyalahkan Tuhan. Hati yang sudah mengalami peremukan akan suka menyenangkan Tuhan, tetapi hati yang belum diperbarui, hanya ingin disenangkan Tuhan. Hati yang diterangi Roh Kudus akan belajar mengerti semua kebaikanNya. Tetapi hati yang gelap hanya akan mengeluh, mengamuk dan menolak didikan Tuhan.

Tuhan harus tahu semua yang mereka butuhkan dan harus memberi sesegera mungkin. Tuhan tidak boleh memimpin mereka melalui keadaan atau kejadian yang mereka tidak sukai, karena kalau Ia lakukan seperti itu mereka akan segera meninggalkan Dia. Seakan-akan mereka tidak butuh Tuhan, tetapi Tuhanlah yang sangat butuh mereka. “Jikalau engkau benar, apakah yang kauberikan kepada Dia? Atau apakah yang diterimaNya dari tanganmu?”(Ayub 35:7)

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu: bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.”(Roma 8:28) Dengan diangkat sebagai anak Tuhan, tidaklah berarti hubungan pribadi dengan Dia otomatis terbina. Pengangkatan sebagai anak memang memulihkan kedudukan, hak kita di dalam Dia. Tetapi hubungan pribadi perlu dibangun, dipertahankan dan ditingkatkan.

2. Gagal berjalan dalam Kairos Tuhan

“Setelah Firaun membiarkan bangsa itu pergi, Allah tidak menuntun mereka melalui jalan ke negeri orang Filistin, walaupun jalan ini yang paling dekat; sebab Firman Allah: “Jangan-jangan bangsa itu menyesal, apabila mereka menghadapi peperangan sehingga mereka kembali ke Mesir.” Tetapi Allah menuntun bangsa itu berputar melalui jalan di padang gurun menuju ke Laut Teberau. Dengan siap sedia berperang berjalanlah orang Israel dari tanah Mesir.”(Keluaran 13: 17-18)

Sebenarnya bila orang Israel mengerti sejak awal, bahwa mereka harus menghadapi peperangan untuk masuk ke Kanaan, maka rute perjalanan mereka pasti menjadi lain. Ayat tersebut dengan jelas mengatakan sebenarnya ada jalan masuk terdekat ke Kanaan, tetapi karena sikap mental mereka yang tidak siap, maka Allah memimpin mereka lewat jalan lain. Tetapi bagaimana pun mereka berusaha menghindari untuk tidak menghadapi peperangan, mereka tetap menghadapi situasi lain yang buruk.

Di tepi laut Teberau, mereka terkejar oleh tentara Firaun. Kalau diperhatikan dengan teliti seperti ada kontradiksi antara ayat 17 dan ayat 18. Di ayat 17 dikatakan bahwa Tuhan tahu mereka akan menyesal bila menghadapi perang, tetapi di ayat 18 dicatat mereka siap berperang. Mereka sebagai prajurit tidak dalam kondisi siap pada saat dikehendaki Tuhan. Mereka hanya siap kapan mereka mau siap. Ini adalah pola hidup semaunya sendiri. Dan mereka yang dikatakan siap berperang, ternyata cuma bisa berteriak-teriak ketakutan, ketika tentara Firaun menyusul mereka di tepi Laut Teberau. Allah mengenal kita lebih dari pada kita mengenal diri kita sendiri.

“Ketika itu aku berkata kepadamu: Kamu sudah sampai ke pegunungan orang Amori, yang diberikan kepada kita okeh TUHAN, Allah kita. Ketahhuilah, TUHAN, Allahmu, telah menyerahkan negeri itu kepadamu. Majulah, dudukilah seperti yang telah diFirmankan kepadamu oleh TUHAN, Allah nenek moyangmu. Janganlah takut dan janganlah patah hati. Lalu kamu sekalian mendekati aku dan berkata: Marilah kita menyuruh beberapa orang mendahului kita untuk menyelidiki negeri itu bagi kita dan membawa kabar kepada kita tentang jalan yang akan kita lalui dan tentang kota-kota yang akan kita datangi.

Hal itu kupandang baik. Jadi aku memilih daripadamu dua belas orang, dari tiap-tiap suku seorang. Mereka pergi dan berjalan ke arah pegunungan, lalu sampai ke lembah Eskol, kemudian menyelidiki negeri itu. Maka mereka mengambil buah-buahan negeri itu dan membawanya kepada kita. Pula mereka membawa kabar kepada kita, demikian: Negeri yang diberikan Tuhan, Allah kita, kepada kita itu baik. Tetapi kamu tidak mau berjalan ke sana, kamu menentang titah TUHAN, Allahmu.”(Ulangan 1:19-26)

“Sesuai dengan jumlah hari yang kamu mengintai negeri itu, yakni: empat puluh hari, satu hari dihitung satu tahun, jadi empat puluh tahun lamanya kamu harus menanggung akibat kesalahanmu, supaya kamu tahu rasanya, jika Aku berbalik dari padamu.”(Bilangan 14:34) “Lamanya kita berjalan sejak dari Kadesh-Barnea sampai kita ada di seberang sungai Zered, ada tiga puluh delapan tahun, sampai seluruh angkatan itu, yakni prajurit, habis binasa dari perkemahan, seperti yang dijanjikan TUHAN dengan sumpah kepada mereka.”(Ulangan 2:14)

Membaca ayat-ayat di atas jelaslah sebenarnya setelah dua tahun berputar-putar mengelilingi padang gurun, mereka sudah dekat perbatasan Kanaan. Allah sudah berencana mengakhiri masa padang gurun bagi umatNya. Tetapi karena kedegilan hati mereka yang selalu melawan Tuhan, akhirnya dtambah 38 tahun menjadi genap 40 tahun. Empatpuluh hari mengintai Kanaan diperhitungkan Tuhan satu hari sama dengan satu tahun, sebagai hukuman atas ketidakpercayaan dan pemberontakan mereka.

“Ketika Ia mendatangkan kelaparan ke atas negeri itu, dan menghancurkan seluruh persediaan makanan, diutusNyalah seorang mendahului mereka: Yusuf, yang dijual menjadi budak. Mereka mengimpit kakinya dengan belenggu, lehernya masuk ke dalam besi, sampai saat FirmanNya sudah genap, dan janji TUHAN membenarkannya.”(Mazmur 105:16-19)

Ketika Musa sedang menantikan Tuhan memberikan hukum-hukumNya di Gunung Horeb, bangsa Israel menjadi tidak sabar menunggu. Mereka membuat patung anak lembu emas sebagai ilah mereka. Kegagalan berjalan dalam waktunya Tuhan, juga menunjukkan siapa sebenarnya yang kita sembah: Allah atau ilah kita sendiri. Sering dalam waktu-waktu menunggu pertolongan Tuhan, Ia pakai itu untuk menuliskan hukum-hukumNya pada loh hati kita. Nantikanlah Dia.

“Ketika bangsa itu melihat, bahwa Musa mengundur-undurkan turun dari gunung itu, maka berkumpullah mereka mengerumuni Harun dan berkata kepadanya :”Mari, buatlah untuk kami allah, yang akan berjalan di depan kami; sebab Musa ini, orang yang telah memimpin kami keluar dari tanah Mesir, kami tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dia.”(Keluaran 32:1)

3. Gagal untuk percaya dan bergantung sepenuhnya kepada Dia

“Tetapi kata Musa: “Bangsa yang ada bersama aku ini berjumlah enam ratus ribu orang yang berjalan kaki, namun Engkau berFirman: Daging akan Kuberikan kepada mereka, dan genap sebulan lamanya mereka akan memakannya! Dapatkah sekian banyak kambing domba dan lembu sapi disembelih bagi mereka, sehingga mereka mendapat cukup?

Atau dapatkah ditangkap segala ikan di laut bagi mereka, sehingga mereka mendapat cukup? “Tetapi TUHAN menjawab Musa :”Masakan kuasa TUHAN akan kurang melakukan itu? Sekarang engkau akan melihat apakah FirmanKu terjadi kepadamu atau tidak!”(Bilangan 11:21-23)

Tidak ada satu kebutuhan yang terlalu besar sehingga Tuhan tidak sanggup memberikannya. Tidak ada masalah yang terlalu besar sehingga Tuhan tidak sanggup menyelesaikannya. Bagi Allah semua ringan dan mudah, tetapi bagi umat Tuhan untuk percaya saja sudah berat dan sulit luar biasa. “Tetapi orang-orang yang pergi ke sana bersama-sama dengan dia berkata :”Kita tidak dapat maju menyerang bangsa itu, karena mereka lebih kuat dari pada kita.”(Bilangan 13:31)

“Bersungut-sungutlah semua orang Israel kepada Musa dan Harun; dan segenap umat itu berkata kepada mereka: “Ah, sekiranya kami mati di tanah Mesir, atau di padang gurun ini! Mengapakah Tuhan membawa kami ke negeri ini, supaya kami tewas oleh pedang, dan isteri seta anak-anak kami menjadi tawanan? Bukankah lebih baik kami pulang ke Mesir?”(Bilangan 14:2-4)

Kegagalan untuk percaya dan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan, menghalangi umat Israel untuk melihat perbuatan besar Allah dalam hidup mereka ataupun melalui mereka. Merasa tidak mampu, tidak berarti, bukanlah suatu kerendahan hati, tetapi suatu kesombongan. Karena sumbernya adalah mengandalkan kekuatan sendiri, bukan bersandar kepada kemampuan Allah yang dahsyat, yang sanggup melakukan segala perkara.

Kaleb bin Yefune dan Yosua bin Nun menunjukkan bagaimana seharusnya umat Tuhan bersikap ketika berhadapan dengan masalah-masalah yang di luar kesanggupan kita untuk menyelesaikannya. Kita harus punya roh yang berbeda dari kebanyakan orang.

1. Maju terus dan percaya pasti menang. “Kemudian Kaleb mencoba menenteramkan hati bangsa itu di hadapan Musa, katanya: “Tidak! Kita akan maju dan menduduki negeri itu, sebab kita pasti akan mengalahkannya!”(Bilangan 13:30) “Dengan tiada digentarkan sedikitpun oleh lawanmu. Bagi mereka semuanya itu adalah tanda kebinasaan, tetapi bagi kamu tanda keselamatan, dan itu datangnya dari Allah.”(Filipi 1:28)

Terlalu sedikit orang percaya yang bisa terus berjalan maju, walau di tengah hambatan dan himpitan masalah. Tetapi terlalu banyak umat Tuhan yang tetap ada dalam masalah, karena tidak pernah maju untuk merebut kemenangan.

2. Menghargai dan merindukan janji Tuhan digenapi. “Dan berkata kepada segenap umat Israel: “negeri yang kami lalui untuk diintai itu adalah luar biasa baiknya.”(Bilangan 14:7) “Mereka menolak negeri yang indah itu, tidak percaya kepada FirmanNya.”(Mazmur 106:24) Seberapa seseorang merindukan janji-janji Tiuhan digenapi, sebegitu juga tingkat iman dan ketaatan yang akan ditunjukkannya.

3. Mengerti untuk mendapatkan kegenapan janji, harus hidup berkenan. “Jika TUHAN berkenan kepada kita, maka Ia akan membawa kita masuk ke negeri itu dan akan memberikannya kepada kita, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.”(Bilangan 14:8)

“Beginilah Firman TUHAN: “Pada waktu Aku berkenan, Aku akan menjawab engkau, dan pada hari Aku menyelamatkan, Aku akan menolong engkau; Aku telah membentuk dan memberi engkau, menjadi perjanjian bagi umat manusia, utnuk membangunkan bumi kembali dan untuk membagi-begikan tanah pusaka yang sunyi sepi.”(Yesaya 49:8) Tuhan bukan Bapa yang mengobral janji, tetapi kadang janji-janji akan memotivasi umat Tuhan untuk hidup lebih berkenan.

4. Mengikuti Tuhan sepenuh hati, menjauhi pemberontakan dan melakukan bagiannya. “Jika TUHAN berkenan kepada kita, maka Ia akan membawa kita masuk ke negeri itu dan akan memberikannya kepada kita, suatu negeri yang berlimpah-limpah susu dan madunya.”(Bilangan 14:8)

Sepenuh hati tidak sama dengan sungguh-sungguh. Tetapi sepenuh hati berarti melakukan semua dengan cara dan sesuai pimpinan Tuhan. Selama seseorang masih suka melakukan sesuatu dengan cara dan maunya sendiri, orang itu tidak akan pernah sepenuh hati mengikuti Tuhan.

Bertahun tahun yang lalu, di awal Tuhan memakai saya dalam pelayanan, ada satu rentang waktu sekitar tiga bulan yang Dia pakai mendidik saya untuk berharap dan bergantung sepenuhnya kepadaNya. Pelayanan waktu itu tetap ada, tetapi anehnya tidak ada satu orang pun yang dilayani memberikan berkat atau persembahan. Semua selesai dengan kata “terima kasih, kamsia, Tuhan berkati.”Mungkin ada pembaca yang tidak percaya, tetapi itu benar-benar saya alami. Waktu doa saya mengeluh, saya katakan: “Tuhan kalau tidak ada berkat, tidak apa-apa. Tetapi sekarang sabun, sikat gigi, odol sudah habis. Masakan saya harus minta ke orang tua untuk hal-hal itu? Saya tidak minta banyak Tuhan, saya minta sabun, odol, sikat gigi.”

Waktu itu saya masih tinggal di rumah orang tua saya. Ketika itu juga saya mendengar Roh Kudus bertanya: “Engkau melayani Aku, upahmu kau terima dari siapa?” Langsung saya jawab: “Dari Engkau, Tuhan.” Kata Roh Kudus: “Tetapi mengapa engkau berharap pada orang yang kau layani. Engkau bekerja untuk Aku, Akulah yang memberi upah padamu. Jangan berharap pada orang yang kau layani.”

Saya akui sebagai hamba Tuhan, uang memang tidak pernah jatuh dari surga, tetapi mesti lewat manusia. Jadi tanpa sadar saya berharap berkat itu datang dari orang-orang yang dilayani. Lanjut Roh Kudus ; “Aku ijinkan ini terjadi, karena Aku mau mengajar engkau untuk tidak berharap kepada manusia.”

Prinsip yang Tuhan ajar ini membuat saya tidak ragu menyampaikan apa pun yang Tuhan perintahkan untuk disampaikan kepada umatNya. Walau kadang ini mengakibatkan penolakan atau tutup pintu bagi pelayanan saya. Kenyataannya upah tidak pernah berkurang, karena upah dari Tuhan. Berkat dari Dia selalu lebih besar berlipat-lipat dari pada persembahan kasih setelah pelayanan.

 

5 artikel terakhir oleh admin

Categories: News & Lastest Updates