Firman Harus Menjadi Manusia

January 13, 2010 - Author: admin - Comments are closed

Oleh: Rick Joyner, dari Buku Perjalanan Dimulai

Di Gunung Sinai Allah menulis Sepuluh Perintah di atas batu dengan tanganNYA sendiri. Lalu Dia memberikannya kepada Musa untuk diteruskan kepada umatNYA. Inilah angsuran pertama dari pemberianNYA kepada manusia dalam Firman tertulis. Pertama Firman diberikan sebagai Hukum Taurat. Hukum Taurat ditulis di atas batu umtuk melambangkan sifatnya yang keras dan kaku. Hukum Taurat diberikan untuk menyingkapkan kekerasan hati kita.

Tetapi tujuan utama Allah untuk FirmanYA ialah agar itu dapat menjadi manusia. Firman pertama-tama menjadi manusia di dalam Yesus. Dia memungkinkan Firman menjadi manusia di dalam kita semua. Firman dijadikan manusia dalam kita, bila itu diubahkan dari rancangan dan asas, menjadi sifat kita sendiri. Lalu itu tak akan hanya menjadi apa yang kita percaya, melainkan juga menjadi jati diri kita.

Tugas kerasulan itu lebih daripada hanya menjadikan manusia mempercayai ajaran yang benar; tugas kerasulan itu berkarya sampai Kristus, Firman Allah itu, dibentuk dalam umatNYA. Mandat kerasulan bukanlah penyesuaian, melainkan pembentukan. Humanisme berusaha mengubah sifat manusia dengan mengganti lingkungannya, lembaganya, pemerintahannya dan aturan perilakunya. Kekristenan mengubah lembaga, pemerintahan dan perilaku manusia dengan mengubahkan hatinya. Tujuan utama dari Firman Allah itu bukan hanya membuat kita percaya dan melakukan hal-hal yang benar, melainkan untuk membuat kita percaya dan melakukan hal-hal yang benar untuk alasan yang benar, karena kita mengasihi Allah dan disatukan dengan kehendakNYA.

Allah memanggil Musa mendaki gunung untuk memasuki hadiratNYA demi menerima FirmanNYA. Untuk empat ribu tahun selanjutnya, orang-orang lain juga dipanggil memasuki hadiratNYA dan diberi FirmanNYA untuk manusia. Kata-kata ini lebih berharga ketimbang semua harta karun yang sudah pernah dikeluarkan dari tambang di bumi; inilah harta karun yang telah dikeluarkan dari tambang di surga. Setelah akhirnya disusun menjadi satu buku, Alkitab menunjukkan jalan menuju jembatan antara surga dan bumi, sehingga kita semua dapat naik ke hadiratNYA.

Yesus ialah Firman

“Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). Yesus adalah Firman Allah yang diwujudkan. Firman tertulis adalah penyingkapan dari Yesus, kehendakNYA, dan rencanaNYA untuk umat manusia. Juga tujuan utama Allah ialah agar segala sesuatu disimpulkan dalam PutraNYA (Efesus 1:10). Firman Allah yang tertulis diberikan untuk memimpin kita kepadaNYA. Itu adalah ungkapan dari Yesus, dan Yesus adalah ungkapan dari Firman tertulis yang menjadi manusia. Kedua hal ini, Yesus dan Firman, tidak terpisah, melainkan merupakan penyingkapan lengkap dari kehendak dan hati Allah untuk manusia.

Kesanggupan kita untuk memahami Alkitab akan menjadi unsur penentu utama dari kesanggupan kita untuk mengambil bagian dari Roti Hidup dan untuk menjadi terang sesuai dengan panggilan Allah bagi kita. Pernyataan ini dibuat dengan pengertian bahwa banyak dari tokoh-tokoh iman utama, baik di masa lalu maupun sekarang, yang berdiri teguh tanpa kompromi untuk kebenaran melawan pertentangan yang kejam dan mengerikan, hanya sedikit yang mempunyai atau sama sekali tidak mempunyai Alkitab. Walaupun banyak dari tokoh ini berasal dari gereja yang teraniaya yang mungkin tidak memiliki sebuah Alkitab, mereka memiliki PengarangNYA sendiri yang hidup di dalam mereka, seperti kita memiliki Alkitab sekarang. Tetapi, mereka yang mempunyai Alkitab itu telah diberi banyak. “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut” (Lukas 12:48).

Alkitab adalah pemberian dari Allah yang nilainya tak terpahami. Alkitab diberikan untuk membantu mengarahkan hidup kita dalam Kristus, untuk membantu menjaga kita agar tetap pada jalur dan untuk memberi kita wawasan ke dalam pikiran dan hati Allah. Semuanya ini bertujuan agar kita dapat diubahkan menjadi sesuai dengan citraNYA. Jika kita benar-benar menghargai Alkitab sebagai Firman Allah, kita tentu saja akan memperlakukannya dengan sangat hati-hati. Namun, kita akan bebas untuk mengambil bagian dari isinya.

Seperti Firaun adalah salah satu contoh besar alkitabiah dari iblis, maka tujuan utama Firaun ialah sama seperti motif yang mendasar dari iblis: menjaga agar umat Allah tetap diperbudak. Musa adalah salah satu lambang besar alkitabiah dari Kristus. Yesus telah datang untuk memerdekakan kita dari perbudakan dan memimpin kita menuju Tanah yang dijanjikan bagi kita, seperti yang dilakukan Musa terhadap umat Israel. Pembagian atas dua konsep dasar yang bertentangan antara Kerajaan Allah dan zaman jahat yang terletak dalam kuasa si jahat, merupakan persoalan kemerdekaan melawan perbudakan.

Iblis tahu bahwa kita tak dapat dengan sungguh-sungguh melayani Allah sebelum kita merdeka. “Di mana ada Roh Allah, di situ ada kemerdekaan” (2Korintus 3:17). Kita tak dapat menerima isi dan kuasa yang benar dari Firman Allah yang tertulis, sebelum ada kemerdekaan roh untuk menerimanya ke dalam batin kita, bukan hanya ke dalam pikiran kita. Itulah sebabnya kemerdekaan hati nurani dan kemerdekaan agama adalah kemerdekaan yang paling berharga dari semua.

Kuasa Firman yang Revolusioner

Ketika Yesus ditanya oleh para murid Yohanes apakah Dia sebenarnya “Tokoh Harapan”, maka kenyataan yang diberikanNYA tentang pelayananNYA sebagai bukti termasuk fakta bahwa “kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Lukas 7:22).

Hati Allah selalu tertuju kepada orang miskin dan tertindas, tetapi ada alasan strategis untuk ini. Perubahan sosial yang besar tak pernah terjadi sebelum orang biasa digerakkan oleh kebenaran. Bukanlah secara kebetulan bahwa ketika Alkitab akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa rakyat biasa, maka demokrasi dan kerja sama bebas merupakan hasil langsung. Tuhan tidak mencoba mengubahkan bentuk pemerintahan dan ekonomi kita; perubahan yang terjadi hanyalah akibat dari orang-orang yang menjadi merdeka secara rohani.

Medan laga rohani dan sejarah yang terutama dalam pertentangan antara kemerdekaan dan perbudakan ialah Alkitab. Bila Alkitab diberitakan, manusia dimerdekakan dari kuk si jahat dan kembali pada persekutuan dan kepatuhan kepada Allah menjadi akibatnya. Siasat utama iblis semasa abad pertengahan ialah mencegah Alkitab agar tidak sampai ke tangan rakyat biasa. Siapa saja yang didapati memiliki Alkitab dibunuh.

Ketika Alkitab dibacakan kepada orang banyak oleh pemuka agama pada waktu itu, itu hanya dibaca dalam bahasa Latin kuno, yang kebanyakan orang tidak dapat memahaminya. Ini mengakibatkan adanya abad-abad kegelapan, kurun waktu dari kebejatan moral manusia terbesar yang tercatat dalam sejarah. Ketika musuh kalah dalam pertempuran untuk mencegah Alkitab jatuh ke tangan rakyat biasa, dia merekayasa siasat lain untuk mencegah orang membaca dan memahami Alkitab.

Adalah doktrin tentang wewenang gerejawi di abad pertengahan bahwa hanya kaum profesional rohani, yaitu: para imam, yang mempunyai hikmat dan pendidikan untuk menafsirkan Firman dengan tepat. Mereka berkilah bahwa jika rakyat awam mencoba menafsirkan Alkitab, maka mereka hanya akan jatuh ke dalam ajaran sesat.

Ada sebagian kebenaran dari ucapan mereka. Memang ada bahaya dalam menganjurkan kebebasan perorangan untuk menafsirkan Kitab Suci, karena sebagian orang akan jatuh ke dalam ajaran sesat. Tetapi, ada bahaya yang jauh lebih besar, jika kita tidak mengijinkan orang-orang beroleh kebebasan ini! Kebenarannya ialah bahwa ajaran paling sesat yang pernah ditampilkan terkadang timbul, ketika hanya kaum profesional rohani pilihan yang boleh menggunakan Firman Allah.

Kepatuhan pada kebenaran adalah kunci pembuka makna dari Kitab Suci. Seperti dinyatakan Yesus,”Barangsiapa mau melakukan kehendakNYA, ia akan tahu entah ajaran-Ku ini berasal dari Allah, entah Aku berkata-kata dari diri-Ku sendiri” (Yohanes 7:17). Kesediaan untuk mematuhi Firman tanpa kompromi adalah hal yang memisahkan mereka yang dapat memahami dengan tepat ajaranNYA dari mereka yang tidak dapat.

Sikap Tidak Bertenggang Rasa dan Ajaran Farisi

Kaum Farisi menggemari dan menghargai Alkitab melebihi siapa saja. Karena pengabdian ini, mereka diberi tanggung jawab untuk memelihara keutuhan Kitab Suci sepanjang abad-abad dari pengutipan dan pengutipan ulang. Untuk ini, kita sangat berutang kepada mereka.

Namun sedihnya, dalam semangat mereka untuk melindungi Kitab Suci, kaum Farisi menerapkan sistem penafsiran alkitabiah yang berlandaskan tradisi mereka dan bukannya kerendahan hati dalam mencari Tuhan untuk beroleh penafsiran. Jaringan tradisi mereka menyebabkan mereka kehilangan dan bahkan menganiaya Dia yang mewujudkan Firman Allah itu sendiri.

Maka kini ada kubu yang terlalu kolot dari kekristenan yang di dalamnya kaum Farisi modern sedang melakukan hal yang serupa. Dalam semangat mereka untuk melindungi Alkitab dari penyalahgunaan ajaran, kaum Farisi modern ini telah menegakkan sistem penafsiran yang menentang kemajuan yang sebenarnya melarang orang untuk memahami kebenaran.

Setiap orang yang mengasihi kebenaran ingin mempunyai ajaran yang teliti. Meskipun demikian, ajaran yang teliti adalah sarana, bukan tujuan. Olehnya, kita memastikan kehendak Allah supaya kita dapat mematuhi Dia. Kita dapat menghafalkan ayat-ayat Alkitab, namun masih tetap tidak mematuhi Tuhan. Kaum Farisi lebih mengasihi Alkitab ketimbang Allah dari Alkitab itu, dan banyak orang masa kini yang terjerumus dalam jebakan yang sama. Kita tak dapat mengasihi Allah tanpa mengasih FirmanNYA, tetapi kita dilarang memberhalakan Kitab Suci yang sesungguhnya memudarkan kasih kita kepadaNYA.

Bahkan, setelah kalah perang untuk mencegah Alkitab agar tidak sampai ke tangan orang awam, iblis terus memperbudak gereja melalui “kediktatoran rohani”. Dengan istilah ini saya maksudkan pengendalian dan penindasan umat melalui ketakutan dan ancaman. Iblis tahu betul bahwa “dengan hati orang percaya dan dibenarkan” (Roma 10:10).

Ketakutan dan ancaman dapat menekan manusia untuk percaya dengan pikiran mereka, tetapi itu tak akan pernah mencapai hati mereka. Ketakutan dan ancaman tak akan pernah menghasilkan iman sejati. Ketakutan adalah kuasa perlawanan terhadap iman. Ketakutan ialah kuasa dari kerajaan kegelapan; ketakutan itu memperbudak. Iman itu kuasa dari Kerajaan Allah yang memerdekakan kita untuk menyembah Allah dalam Roh dan kebenaran. Ketakutan memerintah manusia melalui tekanan lahiriah dan ancaman; iman memerintah dari hati.

Burung beo dapat diajar berbicara dan melakukan hal-hal yang benar, tetapi itu tidak timbul dari hatinya. Bila kita mempercayai sesuatu karena kita diancam atau ditekan untuk mempercayainya, maka kepercayaan kita tak akan pernah menghasilkan kebenaran sejati, betapa pun teliti atau benar kepercayaan itu. Iblis tidak mempedulikan kepercayaan kita, asalkan itu hanya merupakan pengertian kecerdasan. Air hidup sejati dapat muncul hanya dari dalam batin. Kita tidak akan pernah sanggup mengajar atau memberitakan sesuatu yang memberikan hidup sejati, sebelum kita memberitakannya dari hati kita.

Pertentangan dasar itu masih terjadi antara perbudakan dan kemerdekaan. Yesus bersabda, “Jikalau kamu tetap dalam Firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yohanes 8:31-32). Kebenaran memerdekakan kita, dan kemerdekaan itulah yang menyanggupkan kita untuk memahami kebenaran. Kepatuhan kepada Allah itu penting, tetapi Allah bukan hanya menuntut kepatuhan. Dia menginginkan kita mematuhi untuk alasan-alasan yang benar.

Tuhan tidak meminta kita untuk mengenakan lambang dari sikap tunduk kita. Dia mencari sikap tunduk itu dari hati kita. Terlalu banyak ajaran dalam kekristenan yang lebih menekankan penggunaan lambang ajaran ketimbang mengadakan perubahan dalam hati.

Sifat dari Kepatuhan

Jika yang dituntut Allah dari manusia hanyalah kepatuhan, Dia tak akan memberi pilihan kepada Adam dan Hawa di Taman Eden. Dia tidak meletakkan Pohon Pengetahuan itu di Taman sebagai godaan. Pada saat bersamaan, ketika mereka dapat memilih untuk mendurhakai Dia, mereka juga dapat memilih untuk mematuhi Dia. Jika Allah hanya menginginkan kepatuhan mutlak, Dia tentunya dapat menciptakan Adam dan Hawa sehingga mereka tidak dapat mendurhakai Dia. Tetapi Dia bahkan tidak menciptakan malaikat seperti itu. Apakah gunanya penyembahan dari makhluk yang tak dapat berbuat lain dari itu?

Agar ada kekuatan untuk kepatuhan dari hati, Allah telah memberikan manusia sebuah pilihan. Semakin besar pilihan itu, semakin besar kekuatan untuk memilih secara keliru, dan juga semakin besar kepatuhan hati terhadap Allah di dalam diri mereka yang memilih dengan tepat. Namun, jika kita mendirikan tembok-tembok di sekeliling kita supaya kita tak dapat memberontak, itu tak akan menghasilkan hati yang benar.

Jika seorang pencuri dimasukkan ke dalam penjara, dia mungkin tak sanggup lagi mencuri, tetapi itu tidak berarti bahwa pencurian telah dilenyapkan dari hatinya. Bila kita mendirikan tembok sekitar ajaran kita melalui kekuatan dan ancaman, seperti yang dilakukan oleh kaum Farisi, maka kita hanya akan menciptakan robot-robot rohani yang mungkin mengucapkan dan melakukan semua hal yang benar, tetapi yang tak akan pernah menyembah dengan hati mereka.

Kemerdekaan adalah syarat bagi suatu hubungan yang benar. Sama seperti kaum Farisi adalah kaum yang paling mengabdi kepada Kitab Suci, tetapi menjadi musuh terbesar dari Firman itu sendiri. Banyak orang yang secara lahiriah paling mengabdi untuk melindungi keutuhan dari Firman, namun merupakan musuh terbesar dari kebenaran pada hari ini. Kaum Farisi modern yang bekerja melalui ketakutan dan ancaman adalah musuh-musuh utama dari kebenaran.

Mereka yang dikendalikan oleh ketakutan akan menjadi yang paling diancam oleh siapa saja yang tak dapat mereka kendalikan dengan ancaman. Umat yang mempercayai Allah dengan hati mereka mengenal Dia yang mereka percayai. Bila kita tahu bahwa kita dikenal Allah, kita tak akan terlalu mempedulikan hal yang dipikirkan orang lain tentang diri kita. Karena itu, kita tak akan mau diancam atau ditakut-takuti oleh siapa saja di bumi. Mereka yang berpendirian ini akan memilih dengan benar, karena itu adalah benar dan bukan akibat tekanan politik.

Yesus bertenggang rasa terhadap para pendosa, tetapi tidak sabar terhadap kaum Farisi dan ahli Taurat. Mereka ini tidak masuk ke dalam kerajaan dan tidak mengijinkan orang lain juga untuk masuk. Kaum Farisi modern menganggap orang yang menyimpang sedikit saja dari ajaran mereka sebagai musuh, guru palsu atau nabi palsu.

Tentu saja ada sebagian guru palsu dan nabi palsu. Namun, julukan ini hanya perlu diterapkan pada mereka yang ajaran dan tindakannya merongrong ajaran mendasar seperti penebusan, anugerah atau sifat Kristus. Para rasul dari gereja pertama lebih peduli tentang “saudara-saudara palsu yang menyusup masuk, yaitu: mereka yang menyelundup ke dalam untuk menghadang kebebasan kita yang kita miliki di dalam Kristus Yesus, supaya dengan jalan itu mereka dapat memperhambakan kita” (Galatia 2:4).

Seperti kaum Farisi abad pertama, kaum Farisi modern lebih banyak merugikan gereja ketimbang gabungan dari semua macam pemujaan, guru palsu dan nabi palsu. Malah sebenarnya, merekalah yang disebutkanAlkitab sebagai guru dan nabi palsu.

Kemerdekaan itu penting bagi penyembahan dalam Roh dan kebenaran. Jika kita ingin menyembah dalam Roh dan kebenaran, kita tak dapat mengkompromikan kemerdekaan pemercaya untuk mempunyai perbedaan dalam ajaran dan kepercayaan yang bukan inti. Mereka yang melanggar kemerdekaan ini merupakan musuh kebenaran, sekalipun maksud mereka ialah untuk melindungi kebenaran.

Menurut rancangan Allah, kita sekarang “melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar” (1 Korintus 13:12). Setiap orang hanya sanggup melihat sebagian saja dari seluruh gambar, dan kita tak akan pernah melihat seluruh gambar sebelum kita belajar mengumpulkan bagian-bagian kita. Persatuan dari Allah bukanlah persatuan dari keseragaman, melainkan persatuan dari banyak bagian yang berlainan. Iman yang sejati dibuktikan oleh tenggang rasa untuk mereka yang berlainan, yang dituntut jika akan diperoleh persatuan hati yang sejati.

Setiap Orang Harus Mengumpulkan Mannanya Sendiri

Ketika umat Israel diberi manna dari surga, setiap rumah tangga harus mengumpulkan pasokannya sendiri. Ini juga berlaku untuk mengumpulkan manna surgawi. Kita tak dapat bergantung sepenuhnya kepada para pemimpin untuk mendapatkan makanan rohani kita.

Ini bukanlah untuk meremehkan pentingnya kedudukan para pemimpin dan guru yang mengabdikan diri mereka kepada Firman dan pelayanan. Sama seperti orang-orang Lewi penting bagi pelayanan untuk jemaat Israel, para pemimpin kita penting masa kini. Tetapi para pemimpin tak dapat merampas kewajiban perorangan atau rumah tangga. Ada bedanya antara ajaran umum yang harus disiapkan oleh para pengabdi pelayanan Firman dan roti harian dari surga yang harus dikumpulkan oleh setiap rumah tangga.

Bagaimanakah seorang yang tak terlatih dapat menggunakan Alkitab untuk memperoleh pesan yang segar dari surga tanpa terjerumus pada kesalahan atau ajaran palsu? Inilah salah satu persoalan terpenting yang telah dihadapi umat Allah selama empat ribu tahun sejak Firman tertulis diberikan kepada manusia. Sejak Reformasi gereja dimulai, salah satu pergumulan terbesar dari kekristenan ialah kemerdekaan dari umat biasa untuk menggunakan dan menafsirkan Kitab Suci untuk mereka sendiri.

Bahkan gerakan-gerakan yang paling mengabdi untuk pemulihan atau pembaruan telah mengembangkan sistem dan metode menafsirkan Alkitab cenderung merampas kesanggupan ini dari tangan umat dan mempertahankan tafsiran sepenuhnya di tangan para pakar. Kebanyakan dari sistem ini telah dikembangkan untuk tujuan mulia, yaitu: mencegah ajaran sesat atau kekeliruan. Patut disayangkan, pengobatan terlalu sering terbukti lebih membahayakan ketimbang penyakit yang dirancang untuk disembuhkan.

 

5 artikel terakhir oleh admin

Categories: News & Lastest Updates